Artikel
Yudha Adhyaksa
18 Nov 2024
Ada keridhaan antara kedua belah pihak sering dipakai buat alasan pegawai bank riba untuk membenarkan perbuatannya.
“Kami tidak memaksa debitur mengambil kredit. Kami (Bank dengan debitur) melakukan ini atas dasar saling tolong menolong. Jadi sah-sah saja kalau Bank mendapat bunga dari pinjaman. Yang penting kan saling ridha.”
Ada lagi pendapat lain:
“Riba itu kalau tidak ridha. Misal seorang rentenir meminjamkan uang dengan bunga mencekik leher. Itu penindasan, ada ketidakadilan. Maka disitulah muncul riba. Tapi kalau sama-sama ridha, ya tidak ada penindasan dan itu bukan riba namanya. Bedanya dengan Bank, Bank itu menolong orang berbisnis dan orang itu mendapat keuntungan berlipat ganda setelahnya. Keuntungannya jauh lebih besar dari nilai bunganya. Jadi karena sama-sama ikhlas, tidak ada dosa riba di sini!”
Bisa dipastikan, mereka yang masih bertanya seperti itu belum memahami tentang hakikat riba. Jangan di salahkan, tetapi berikan mereka edukasi dengan pengetahuan yang bisa dimengerti olehnya. Karena susah mengubah pemikiran yang sudah terbentuk puluhan tahun ditambah lagi jika orang tersebut termasuk pelaku riba.
Maka ada banyak sekali jawaban untuk membantah argumentasi tersebut. Silahkan kita bisa memilih salah satu dari penjelasan dibawah ini:
Tidak mungkin bisa, contohnya Judi juga saling ridha, tapi tidak bisa menyebabkan judi menjadi halal. Begitu juga dengan suap dan perzinaan dilakukan suka sama suka, apa lantas menjadikan perbuatan haram itu jadi halal? Bahaya sekali pemikiran seperti ini.
Kita lihat saja firman Allah, jelas-jelas tertulis di kitab suci Al Qur’an:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)
Disitu tidak disebut “…dan mengharamkan riba yang tidak ridha”. Artinya ayat ini berlaku pada semua kondisi riba. Tidak peduli dilakukan dengan ridha atau tidak ridha. Juga tidak melihat nominal ribanya mau yang kecil atau besar. Semuanya sama saja yaitu DILARANG!.
Bedakan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli. Kalau jual beli, memang benar harus saling ridha karena itu syarat pertama agar akad jual beli yang dilangsungkan menjadi sah. Dalilnya adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa: 29)
Dalam jual beli tujuannya komersil untuk mencari keuntungan bersama. Jadi jangan sampai ada salah satu pihak dipaksa sehingga menyebabkan kerugian. Berbeda dengan transaksi utang piutang yang seharusnya bersifat sosial (tolong menolong) justru malah menindas orang yang sedang kesusahan (pengutang).
Bukti Allah tidak pernah ridha adalah banyaknya ancaman dari Allah dan RasulNya. Para ulama juga sudah sepakat menghukumi bunga bank haram karena riba. Siapakah diri kita dibanding mereka? Marilah kembali lagi pada aturan yang benar pada Al Qur’an dan hadits Nabi yang shahih.
Tidak usah mencari banyak alasan untuk mengingkarinya. Seperti ngotot mengatakan kerja di bank halal karena telah mengorbankan waktu dan tenaganya. Padahal bicara riba itu bicara dosa yang dilaknat Rasulullah. Kita tidak bisa menganggap remeh masalah riba ini agar tidak masuk ke golongan yang disebutkan dalam firmanNya:
“Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau”. (QS. Qaf : 5)
Ukuran manusia tidak bisa dipakai untuk melegalkan riba. Keridhaan pihak penerima utang tidak bisa jadi alasan untuk mengesahkan praktek ribawi. Sesungguhnya, penerima utang juga berbuat zalim pada dirinya sendiri.
Bagaimana tidak?
Dengan menyetujui akad ribawi dan selanjutnya terus membayar bunga bertahun-tahun, ia telah melemparkan dirinya kedalam kebinasaan dan azab akhirat kelak, karena sengaja melakukan yang diharamkan oleh Allah. Sedihnya, dosa riba tak hanya berakibat untuk dirinya, tapi juga seluruh pihak yang mendukung terlaksananya transaksi ribawi ini.
Seorang pengusaha pengembang properti konvensional pernah bertemu dengan saya. Beliau curhat berjam-jam. Dulunya ia bekerja disalah satu proyek di Jakarta dan sekarang sudah punya bisnis sendiri di Magelang, Jawa Tengah. Setiap bulan ia harus membayar bunga pinjaman Bank sebesar 500 juta. Itu baru bunganya saja. Bayangkan!
Kata-kata yang sering diulanginya adalah, “Saya merasa diperbudak Bank. Berbisnis cuma untuk membayar bunga Bank! Sama seperti jadi pegawainya kalau begini! Setelah saya evaluasi, ternyata keuntungannya lebih kecil dari bunga pinjaman”, keluhnya. Gara-gara riba, bisnis sang pengusaha rusak dan terancam bangkrut.
Ia tidak sendiri, masih banyak pengusaha lain yang harus bayar bunga lebih besar. Mereka sangat menyesal setelah merasakan efek negatif riba yang menggerogoti sampai pada kehidupan pribadinya. Hilang keberkahan hidupnya, ia pun menjadi tidak tenang dan gelisah sepanjang malam. Sering bertengkar dengan istri dan anak-anaknya gara-gara alasan sepele. Sebenarnya banyak contoh pengusaha yang sebelumnya bisnisnya baik-baik saja,tetapi setelah terlibat dalam pinjaman ribawi, malah porak poranda dan berujung pada masalah rumah tangga.
Sesungguhnya ketenangan adalah kunci kesuksesan sebuah bisnis
Seandainya tidak ada bunga yang harus dibayar, maka ia bias fokus dan tenang untuk mengembangkan bisnisnya
Artikel
Pertanyaan seputar keabsahan asuransi dalam Islam memunculkan dilema di kalangan umat Muslim, terutama mereka yang berkecimpung di industri keuangan. Bagaimana Islam memandang kerja di asuransi riba?...
Latifah Ayu Kusuma
17 Jan 2024
Dalam dunia bisnis yang semakin dinamis, pengusaha muslim seringkali dihadapkan pada tantangan dalam mencari modal tanpa harus terjerat dalam sistem riba yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari...
Latifah Ayu Kusuma
16 Jan 2024
Dalam ajaran Islam, bisnis memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Namun, tidak semua bentuk bisnis diperbolehkan dalam Islam. Artikel ini akan membahas secara mendalam ten...
Latifah Ayu Kusuma
15 Jan 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan