Artikel
Yudha Adhyaksa
06 Nov 2024
Dulu sewaktu merencanakan hijrah dari Bank riba, ide bisnis saya pertama kali adalah herbal.
Saya mencari toko herbal yang menjual paling murah dan ketemu distributornya di Pamulang. Tokonya begitu kecil, hampir tidak kelihatan tapi mampu memberi diskon 40%.
Lumayan bukan?
Langsung saya beli puluhan produk dan boyong ke Jogja (kota baru setelah hijrah). Perasaannya bangga karena berhasil menerapkan ilmu kuliah ekonomi dulu : belilah barang serendah-rendahnya untuk dijual kembali setinggi-tingginya.
Pikir saya, kalau tidak laku bisa dipakai sendiri jadi tidak mubazir. Tak lupa saya beli website dan mendisainnya begitu menarik agar semua produk tampil cantik mempesona. Namun rencana tinggal rencana. Tak satupun barang terjual hingga kadaluwarsa.
Jujur saja, dulu saya memilih herbal supaya aman dari bisnis riba. Maklum, baru hijrah dari pekerjaan ribawi jadi ada perasaan khawatir terkena dosa riba lagi di bisnis.
Nah ternyata seorang Ustadz terkenal pernah mengatakan:
“Kenapa ya, kalau ada orang hijrah jualannya itu-itu saja? Kalau tidak herbal, gamis atau buku. Ya 3 barang itu saja. Seolah-tidak ada yang lain, hehehe..”
Ketawa ratusan audiens nya termasuk saya.
Betul itu. Saya melihat fenomena orang hijrah berbisnis dimana semakin dalam belajar syariat semakin khawatir berbisnis selain 3 barang itu. Salah langkah bisa mengundang dosa besar karena banyaknya larangan muamalah. Akhirnya pilih produk yang aman secara syariat ya kembali lagi ke 3 jenis produk itu.
Setelah itu ada kekhawatiran lain yaitu membuat akad tertulis. Mereka menganggap akad itu sakral, sesuatu yang hanya bisa dibuat oleh Konsultan Akad. Padahal orang hijrah ini sudah lama mengaji jadi sudah paham ilmunya tetapi tetap kurang percaya diri untuk menyusun akad sendiri.
Apakah Anda merasakan hal sama, wahai pengusaha ex bankir riba?
Sekian lama hati saya terusik. Harusnya tidak begini, syariat tidak mungkin seseram itu. Saya yakin syariat dibuat untuk tujuan mulia penuh asas keadilan. Seharusnya ada cara lebih mudah untuk memahami syariat secara cepat.
Nah, setelah sekian lama mencari, saya pun menemukan jawabannya. 5 prinsip wajib diketahui setiap pengusaha hijrah supaya nyaman berbisnis karena tahu tidak melanggar syariat.
Model perdagangan berkembang pesat dari zaman ke zaman. Berbeda dengan ibadah yang harus mengikuti tuntunan, dalam bisnis, Islam justru tidak membatasi bentuk atau modelnya. Hukum asalnya mengatakan segala hal dalam dunia bisnis halal dilakukan berdasarkan dalil :
“Dialah yang menciptakan untuk kalian segala yang ada di bumi seluruhnya….” (QS Al Baqarah: 29)
Rasulullah pun turut menegaskan,
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, no. 2363)
Inilah aturan besarnya. Karena itu kunci belajar fiqh muamalah sebetulnya mudah : tinggal mencari dalil haramnya.
Jika tidak ada, berarti boleh dilakukan. Karena tujuan dalil haram untuk mencegah semua hal negatif seperti ketamakan, penindasan, kerusakan, penguasaan atas hajat orang banyak dapat dicegah. Sehingga tercipta keadilan pada setiap insan untuk mendapat haknya. Semua penjual pembeli pasti mau ini bukan?
Jangan biarkan diri dikuasai hawa nafsu menekan orang lain sekeras-kerasnya demi bisnis berkembang. Salah itu. Justru pengusaha Muslim harusnya membantu orang lain yang sedang susah karena keberkahan lebih penting dari keuntungan materiil.
Beberapa contoh memudahkan pembeli adalah:
Apapun model bisnisnya, offline maupun online, pastikan semua unsurnya jelas. Mulai dari status penjualnya harus jelas sebagai Produsen atau hanya Perantara. Pembelinya harus orang yang layak, tidak terpaksa saat membeli, dan sebagainya. Obyek barangnya harus suci agar tidak terselip sedikitpun unsur haram.
Untuk apa harus bersusah payah seperti itu? Supaya akadnya sah dan mengikat penjual – pembeli. Para pihak tentram karena saling tahu jelas batasan tanggung jawabnya. Juga demi keridhaan Allah yang membuat aturan luhur demi kedamaian di muka bumi.
“Perumpamaan kaum Mukminin dalam hal saling mencintai, saling menyayangi, dan kerjasama sesama mereka bak satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan demam.” (HR. Muslim)
Lihatlah bagaimana sejak zaman Nabi, ketidakcocokan antara niat dan perbuatan sering terjadi. Karena itulah niat turut dinilai dalam status keberkahan transaksi.
“Barangsiapa yang menikahi seorang wanita dengan mahar tertentu, sedangkan dia berniat tidak menyerahkan mahar tersebut kepadanya, maka dia adalah pezina. Dan barangsiapa yang berhutang suatu piutang, sedangkan dia berniat untuk tidak membayarnya, maka dia adalah pencuri.” (HR. Al Bazzar & Al Baihaqi)
Bila penjual berpikir tidak ada pembeli yang tahu niat jahatnya, dia salah. Sesungguhnya niatnya telah diperhitungkan, sehingga tetap berdosa.
Contoh ketidaksinkronan niat dan perbuatan :
Jadi mulai sekarang, luruskan niat berbisnis. Ketika menawarkan produk atau jasa tujuan kita benar-benar ingin menolong orang lain. Bukan sekedar mencari untung yang akhirnya melahirkan niat buruk demi tercapainya tujuan.
Budaya yang mengakar di masyarakat seperti tradisi atau adat istiadat, ada yang sesuai dengan hukum syariah dan ada yang tidak. Nah, sebagai Penjual jelas tidak boleh mengikuti budaya yang menyalahi syariat. Disinilah fungsi Islam sebagai kontrol sosial.
Percayalah, Islam tidak mengekang budaya setempat.
Islam hanya menyaringnya supaya meniadakan hal tidak baik yang merugikan. Maka pengusaha harus tegas menjual produk bermanfaat saja walau ditekan keras masyarakat untuk menjual produk haram demi pelestarian budayanya.
Apabila tradisi budaya sudah sesuai fiqh muamalah, tentu tetap direstui Islam.
Artikel
Pengusaha pemula seringkali bingung dalam hal membuat keputusan bisnis. Terlebih saat ia menemukan masalah-masalah baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Misalnya tentang pencatatan keuangan. Suda...
Yudha Adhyaksa
01 Feb 2024
Ingat ya, syariah bukan hanya slogan maupun pemanis jualan. Bukan juga sekadar akad agar jual belinya halal di mata ulama. Dan bukan pula kedok pakaian menutup aurat bagi owner dan karyawan. Syariah a...
Yudha Adhyaksa
31 Jan 2024
Dilihat dari kulitnya, bank syariah nampak suci, tak terlibat riba maupun sistem keuangan yang dilarang oleh syariat Islam. Namun apakah faktanya demikian? Wallahu a‘lam, Saya belum pernah ke...
Yudha Adhyaksa
30 Jan 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan