Artikel
Yudha Adhyaksa
26 Nov 2024
Kalau kasus sebelumnya masih ada peluang menghindari dari rencana pernikahan dengan calon suami pegawai Bank, kali ini kasusnya si pegawai Bank riba adalah sang ayah sebagai tulang punggung keluarga dimana kewajibannya menafkahi anak-anaknya.
Sebagaimana hukum yang berlaku:
“Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta.” (Al-Mughni, 8/171).
Bisa jadi anak-anak ini masih kecil atau remaja, sehingga kondisinya belum mampu mandiri. Tidak ada sumber penghasilan lain. Jadi mau tidak mau, bergantung pada nafkah ayahnya. Dari hari ke hari, bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun.
Bagaimana mungkin anaknya menghindar? Tidak mungkin membeli makanan sendiri karena tidak bekerja. Menolak menerima pemberian makan dari ayahnya juga tidak bisa. Membayar sendiri kebutuhan sekolahnya juga belum mampu.
Lalu, apa yang harus dilakukan si anak?
Apakah kalau ayahnya pelaku riba maka anaknya turut menjadi pelaku riba juga?
Apakah anak harus keluar dari rumah yang dibeli ayahnya dengan cara riba?
Jawabannya adalah secara syariat ternyata boleh anak menerima pemberian dari ayahnya. Meskipun sang anak tahu jelas kalau penghasilannya haram karena ayahnya tidak punya sumber pemasukan lain. Dengan kata lain, gaji Bank adalah satu-satunya penghasilan ayahnya.
Lho kenapa bisa begitu?
Karena sesungguhnya dosa riba hanya ditanggung ayahnya sendiri. Ia yang bekerja di Bank dan anaknya tidak ada sangkut paut dengan pekerjaannya. Anaknya hanya kebetulan ditakdirkan lahir dari keluarga dimana sang ayah pegawai Bank. Anaknya tidak bisa memilih dari keluarga mana dia akan lahir, karena semua itu ketetapan Allah sehingga anak terpaksa menerimanya.
Dalilnya adalah firman Allah.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173)
Dosa riba ditanggung pelakunya saja karena ia yang memilih pekerjaan haram tersebut. Sehingga harta yang tadinya haram bisa menjadi halal tergantung dari cara memperolehnya.
Jadi sebetulnya ada 2 hubungan yang berdiri sendiri :
Dalilnya adalah praktek Nabi yang pernah menerima hadiah dari orang Yahudi. Beliau bahkan berjual beli dengan mereka. Padahal orang Yahudi terkenal karena suka bertransaksi riba dan sumber haram lainnya, lalu dibelikan barang dan diperdagangkan ke kaum muslimin.
Disini berlaku kaidah:
Sesuatu yang diharamkan karena cara memperolehnya yang haram, maka itu haram bagi orang yang melakukan cara tersebut saja, bukan pada orang yang mengambil darinya melalui jalan yang halal (mubah).
Bagi si anak, ia tidak berdosa karena mendapatkan harta dengan cara yang benar. Makanannya, segala kebutuhan hidupnya, berasal dari ayahnya yang memang sudah jadi tanggung jawabnya untuk memberi makan keluarganya. Termasuk pokok adalah hunian sehingga anak tidak perlu keluar dari rumah orangtua.
Walaupun sang bapak yang dihukumi sebagai pelaku riba, sang anak juga bisa saja terjatuh dalam hadits ini:
“Tidak ada daging yang tumbuh dari as-suht (semua harta haram termasuk riba), kecuali neraka lebih layak baginya.” (HR. Turmudzi 614 dan dishahihkan al-Albani)
*As-suht : semua harta haram, baik riba, suap, atau lainnya.
Apabila sang anak malah memanfaatkan gaji besar ayahnya untuk membeli barang mewah seperti HP, makan di restoran mewah, berlibur keluar negeri, membeli kendaraan mewah dan barang mewah lainnya. Padahal ia tahu barangnya dibeli dari gaji riba ayahnya yang haram, maka ini merupakan perbuatan yang salah.
Yang benar adalah ketika anak sudah besar, mampu mencari pekerjaan sendiri segeralah berlepas diri dari ayahnya. Jangan terima pemberian ayahnya lagi. Walaupun gaji pekerjaannya masih kecil, pemasukan usahanya belum stabil, anak harus tetap mandiri dan hidup dalam kesederhanaan tanpa bantuan ayahnya. Semoga dengan kondisi ini, ayahnya menjadi luluh hatinya dan bertaubat.
Semoga Allah ‘azza wa jalla menolong kaum muslimin untuk terlepas dari jeratan riba.
Artikel
Cara Memulai Bisnis Usaha – Di masa sulit seperti saat ini memang kita harus lebih kreatif agar bisa memulihkan perekonomian di masa pandemi. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memulihkan...
Friska Danarto
07 Sep 2021
Tips Manajemen Waktu dalam Islam – Dengan adanya waktu dan ridha dari Allah tentu kehidupan ini akan terus berjalan dengan baik. Oleh karena itu, waktu adalah salah satu nikmat Allah yang h...
Friska Danarto
07 Sep 2021
Kursus Pelatihan Online – Ingin membuka usaha namun masih belum memiliki ilmu yang cukup dalam membuka bisnis baru? Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih ini, ada banyak ha...
Friska Danarto
07 Sep 2021
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan