Artikel
Yudha Adhyaksa
29 Nov 2024
Bertahun-tahun lalu, saya bekerja di sebuah Bank di gedung tinggi di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan.
Saya ingat sekali, waktu itu sedang dikumandangkan adzan Ashar. Saya tengok keluar jendela dan terlihat kemacetan luar biasa disebabkan pembangunan MRT. Klakson motor berbunyi tiada henti, pengemudinya terus berteriak menyuruh mobil di depannya maju. Hawanya yang sangat panas membuat emosi semakin naik.
Beda sekali dengan kondisi dalam kantor yang ACnya membuat saya kedinginan. Saya pun berjalan ke mushalla dengan riang gembira. Beberapa hari lagi saya akan tinggalkan kantor ini untuk selamanya. Untuk memulai hidup baru menjadi orang hijrah. Sampai disana, saya melihat seorang teman lama sedang melepas sepatu untuk berwudhu. Sebut saja namanya Adi.
“Nah, ini dia orang yang saya cari”, kata saya dalam hati.
Kebetulan, dari kemarin saya memang mencarinya. Ada yang ingin saya tanyakan karena namanya muncul di daftar pegawai baru. Saya heran, “Kok bisa masuk kantor ini lagi?”
Kenapa saya heran?
Karena sebelumnya dia sudah bekerja di Bank ini. Waktu saya masuk sebagai pegawai baru, dia itu pegawai lama dan posisinya cukup tinggi. Selang 2 tahun kemudian, saya dengar dia mengajukan resign. Dan ketika saya tanya alasannya, dia bilang pekerjaan disini haram karena ada ribanya. Dosa riba ini membuatnya gelisah selama bekerja. Lalu dia melamar pekerjaan lain walaupun gajinya lebih rendah. Eh, sekarang kembali lagi kerja di Bank.
Saya langsung memberondongnya dengan pertanyaan.
“Hallo Adi, apa kabar? Bagaimana nih ceritanya sudah resign kok kesini lagi? Katanya RIBA? Nggak konsisten amat,” kata saya sambil senyum-senyum.
Dia melihat ke arah saya, lalu ekspresinya berubah menjadi defensif.
“Eh bro, elu sudah paham apa itu RIBA belum? RIBA tuh banyak jenisnya. Nggak semuanya haram, man! Makanya elu belajar dulu gih!” katanya sambil ngeloyor.
Saya terbengong-bengong, “Hah, apa benar ada banyak jenis riba?”
Sebelum percakapan ini, saya pikir saya sudah tahu banyak tentang RIBA. Saya sudah bertanya pada Ustadz dan mendatangi banyak kajiannya hingga berani menyimpulkan haram bekerja di Bank riba. Anehnya, dia memberitahu seolah-olah ada RIBA jenis lain sehingga boleh tetap kerja di Bank.
“Memangnya ada berapa sih jenis riba?” Gumam saya.
Sejak peristiwa itu saya termotivasi untuk mendalami jenis riba. Saya penasaran dan ingin membuktikan apakah omongan teman ini benar, ada riba jenis lain yang halal? Setelah tahu, sayangnya saya tidak pernah ketemu dia lagi. Tidak bisa memberitahu hasil riset saya hehehe..
Riba menjadi viral sejak era media sosial beberapa tahun terakhir ini. Meski begitu tak banyak orang tahu jenis riba itu sendiri. Sebagian masyarakat, termasuk saya dulu tahunya riba itu bunga pinjaman. Ternyata, cakupannya jauh lebih luas.
Riba secara bahasa mempunyai arti ‘bertambah’. Namun secara istilah adalah segala tambahan yang diharamkan syariat Islam. Transaksinya bermacam-macam; bisa utang-piutang, jual beli atau tukar menukar barang ribawi.
Riba dibagi 2 jenis yaitu:
Kalau diilustrasikan sebagai pohon, pohon riba mempunyai dahan dan ranting seperti ini.
Nah, mungkin yang jarang sekali terdengar adalah riba pada barang ribawi.
Saya sendiri baru tahu setelah hijrah. Materi ini menarik untuk dipelajari, terutama bagi kaum wanita yang suka bertukar tambah perhiasan emas, toko emas, pedagang bahan pokok, pebisnis Money Changer dan sebagainya.
Sebelum masuk ke detail, ada baiknya saya beri kata pengantar berbentuk tanya jawab supaya ada gambaran sedikit.
Barang ribawi adalah barang yang disebut Nabi sebagai barang ribawi. Dasarnya adalah hadits:
“Menukar emas dengan emas adalah riba kecuali dilakukan dengan cara tunai, menukar gandum bulat dengan gandum bulat adalah riba kecuali dilakukan dengan cara tunai, menukar kurma dengan kurma adalah riba kecuali dilakukan dengan cara tunai, menukar gandum panjang dengan gandum panjang adalah riba kecuali dilakukan dengan cara tunai.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau ditanya, apa logikanya sampai barang ini menjadi ribawi?
Wallahu a’lam. Bisa jadi ada alasan yang belum bisa dijangkau manusia. Yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat). Aturan yang Allah tetapkan pasti untuk melestarikan kehidupan manusia sebaik mungkin. Jadi, percayalah maksud Allah itu pasti baik.
“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu sementara itu baik bagi kalian, dan bisa jadi, kalian mencintai sesuatu sementara itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)
Barter atau tukar menukar itu masih ada di zaman sekarang.
Seperti di Venezuela dimana rakyatnya melakukan barter, misal menukar 1 kg ikan dengan 2 kg beras karena inflasi terlalu tinggi. Orang Muslim disana harus berhati-hati ketika tukar-menukar barang yang masuk kategori barang ribawi supaya tidak jatuh kedalam dosa riba.
Di Indonesia juga ada, tetapi hanya pada kesempatan dan tempat tertentu. Semisal tukar tambah perhiasan emas di toko emas dan tukar-menukar sayur mayur di Pasar Terapung Kalimantan. Bahkan, di level Kepala Negara pun pernah terjadi barter antara hasil bumi Indonesia dengan pesawat Sukhoi.
Tentunya ada, dan jumlah barang non ribawi jauh lebih banyak dibanding barang ribawi.
Contoh barang non ribawi adalah benda elektronik, kendaraan, rumah, mobil, furniture, makanan bukan pokok, buah, sayuran, susu, kue dan lain sebagainya.
Yuk kita dalami dengan baik agar tidak terjerumus ke semua bentuk riba. Di zaman sekarang banyak sekali istilah syariah yang disematkan pada sebuah transaksi untuk menggiring opini masyarakat agar transaksi yang sesungguhnya haram menjadi terlihat halal.
Artikel
Setelah sebelumnya sempat disinggung sedikit tentang hak Khiyar, sekarang saya akan bahas tersendiri. Mengapa? Karena saya merasa aturan ini sangat istimewa dan penting dalam bertransaksi agar tidak a...
Yudha Adhyaksa
24 Nov 2024
Ingat, kehalalalan produk sudah dimulai sejak pemilihan bahan baku, pemrosesan hingga berbentuk produk jadi. Dengan begitu kita bisa pastikan tidak masuk unsur haram sedikitpun. Mengapa harus begit...
Yudha Adhyaksa
24 Nov 2024
Gharar adalah ketidakjelasan besar Syariat melarang jual beli barang yang ketidakjelasanya tinggi karena merugikan penjual atau pembeli. Gharar itu jual-beli yang tidak jelas kesudahannya. Sebagian...
Yudha Adhyaksa
24 Nov 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan