Artikel
Yudha Adhyaksa
03 Dec 2024
“Saya dengar aset yang pernah dibeli dengan pinjaman riba harus dijual. Benar begitu ? Jika benar, saya belum siap hijrah. Rumah saya dibeli dari KPR riba, mobil juga dari kredit riba. Bagaimana saya bisa bertahan hidup kalau semua itu dilepas? Saya takut jadi miskin. ”
Untuk menjawabnya, kita perlu mengetahui status harta riba sebelum dan sesudah tahu hukum riba. Tapi sebelumnya, saya akan definisikan harta riba terlebih dahulu. Ini penting agar kita berangkat dari sudut pandang yang sama.
Harta riba adalah segala sesuatu yang diperoleh dari penghasilan riba dan pinjaman riba.
Bentuknya bisa berupa uang atau non uang (aset). Uang mencakup semuanya yaitu gaji, semua tabungan yang di simpan di Bank ataupun rumah. Aset meliputi mobil, motor, rumah, perhiasan emas, benda elektronik dan usaha yang sudah berkembang.
Di dalam Islam tidak ada perintah siapa yang mau bertaubat dari harta haram, cara membersihkannya dengan memiskinkan diri. Di masa silam, ada sahabat Nabi yang punya kekayaan dari hasil riba di izinkan tetap memilikinya. Tapi ingat, riba yang masih ada di tempat lain tidak boleh diambil. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Bagaimana status harta setelah bertaubat ? Kondisi yang berlaku pada harta ribanya mengikuti dalil berikut ini :
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah: 275)
Bagaimana jika sudah bertaubat lalu menyadari ada harta haram hasil riba dan tidak bisa memisahkan lagi mana yang halal dan mana yang haram?
Harta hasil riba menjadi haram karena cara memperolehnya melalui riba. Ini sebetulnya bukan milik kita dan kalau diketahui siapa pemiliknya, maka kembalikanlah.
Misal, pak Putra pernah meminjamkan uang pada Pak Hasbi sebesar Rp. 10.000.000 selama 6 bulan dengan bunga Rp. 1.000.000. Kemudian pak Putra mengetahui yang bunga yang diterimanya haram, maka sebisa mungkin ia mencari pak Hasbi untuk diserahkan kembali Rp. 1.000.000.
Dalam kasus pegawai Bank, sangat sulit mengetahui siapa pemilik ribanya karena ia hanya bekerja disitu. Untuk kasus seperti ini ia tidak bisa mengembalikan bunganya karena tidak tahu pemiliknya. Ia hanya bisa bertaubat dan membersihkan diri dengan cara banyak bersedekah.
Semua harta riba non uang tidak perlu di jual atau diserahkan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Bila berbentuk uang, tidak perlu didonasikan semua tabungannya. Statusnya halal.
Alasannya karena pelakunya masih meyakini hartanya halal pada waktu itu. Mereka memperolehnya di saat tidak tahu hukum riba, belum sampai hukum riba padanya atau menganggap bukan riba karena ada alasan yang mendukungnya.
Tidak boleh menerima lagi gaji bulan depannya. Ini dengan catatan masih ada sumber pemasukan lain. Misal istrinya bekerja, ada pemasukan bisnis yang halal, orangtua atau saudaranya mau mensupport kebutuhan pokok keluarganya.
Jika tidak ada, maka dia tetap boleh terima gaji haram itu tapi dibatasi penggunaannya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Selanjutnya ia harus terus bertaubat dan berjuang keluar dari pekerjaan riba sesuai kemampuannya.
Barang yang terlanjur dibeli dengan kredit riba menimbulkan dosa bagi pelakunya namun dia tetap boleh memilikinya. Yang harus dilakukan adalah taubat Nasuha dan melanjutkan membayar cicilan pokoknya saja. Namun riba di bulan berikutnya yaitu bunga dan denda (bila ada) tidak boleh dibayar.
Apakah itu mungkin?
Mengenai hal ini memang lebih sering kasus gagalnya. Kebanyakan debitur sudah bernegosiasi dengan Bank tapi tidak digubris. Mereka tetap harus membayar ribanya. Dalam kondisi ini, dibolehkan membayar ribanya karena sudah berusaha dan tidak ada pilihan lain. Yang harus dihindari adalah tidak boleh gali lubang tutup lubang, maksudnya membuka utang riba baru untuk melunasi utang riba sebelumnya.
Bila asetnya sudah lunas maka sah untuk dimiliki. Di dalam Islam tidak ada perintah siapa yang mau bertaubat dari harta haram, cara membersihkannya dengan memiskinkan diri. Pada masa lampau, ada juga sahabat Nabi yang punya kekayaan dari hasil riba. Mereka mendapatkannya sebelum tahu hukum riba, sehingga di izinkan untuk tetap memiliki dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Tidak wajib melepaskan harta tersebut.
Imam as-Sa’di mengatakan,
“Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan riba yang telah diambil melalui akad riba setelah orangnya bertaubat. Namun yang Allah perintahkan adalah mengembalikan riba yang belum diambil. Karena riba diambil dengan kerelaan pemiliknya sehingga tidak sama dengan barang hasil rampasan.” (Al-Fatawa as-Sa’diyah, hal. 303).
Namun meski begitu, wajib taubat Nasuha untuk tidak mengulangi membeli aset apapun dengan cara riba.
“Saya sadar sekarang, Kredit ini ada ribanya. Dan kalau ditanya apakah ingin berhenti, Saya mau banget. Bolehkah saya menghentikan pembayarannya ?” Lalu “Bagaimana status aset tersebut, apakah boleh dimiliki atau harus dijual?”
Banyak sekali yang bingung dengan situasi aset yang terlanjur dibeli dengan cara riba.
Sebagian berasumsi karena dulunya dibeli dengan utang riba berarti kendaraannya menjadi haram juga. Kan itu satu paket, sedari awal cara perolehannya salah maka imbasnya tidak sah memiliki kendaraan meskipun utang ribanya sudah selesai.
Sudah sepatutnya setiap Muslim meneliti kehalalan penghasilannya karena harta haram membawa ‘resiko dunia akhirat’. Ia akan jatuh pada golongan tertentu yang disebutkan Nabi dalam hadist berikut ini :
“Sesungguhnya ada beberapa orang beraktivitas dengan harta Allah dengan cara tidak benar, sehingga mereka berhak mendapatkan neraka di hari kiamat." (HR. Ahmad 28078, Bukhari 3118 dan yang lainnya).
Pembahasan ini bukan untuk mendorong orang untuk berbondong-bondong mengambil utang ribawi. Menandatangani akad yang mengandung klausul riba saja sudah salah, karena secara prinsip itu sama dengan meridhai praktek riba meskipun belum memakai dananya. Ini kesalahan pertama yang apabila ia lanjutkan dengan membayar cicilan berikut bunga, maka ia terkena kesalahan kedua yaitu sebagai pemberi makan riba.
Jangan takut miskin.
Janganlah kalian takut akan kemiskinan. Sesungguhnya Allah menakut-nakuti kalian dengan neraka. Bukan dengan kemiskinan .
-Hatim Al-Asham Rahimahullah-
(Al-Fawaid Wal Akhbar: 152)
Artikel
Terkadang orang hanya melihat para pengusaha yang memamerkan bisnisnya dari sisi kekayaannya saja sehingga ingin jadi seperti mereka. Padahal sebenarnya yang mereka tampakkan adalah ujung dari perjuan...
Yudha Adhyaksa
29 Nov 2024
Pegawai adalah aset paling berharga. Memiliki pegawai yang tepat jelas mempercepat pekerjaan seberapapun beratnya. Namun ada hal lain yang perlu dinilai juga bahkan krusial (menjadi penentu) yaitu mer...
Yudha Adhyaksa
29 Nov 2024
Bertahun-tahun lalu, saya bekerja di sebuah Bank di gedung tinggi di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan. Saya ingat sekali, waktu itu sedang dikumandangkan adzan Ashar. Saya tengok keluar jendela d...
Yudha Adhyaksa
29 Nov 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan