Artikel
Yudha Adhyaksa
04 Nov 2024
Tulisan ini dipersembahkan untuk Anda yang:
Bagaimanakah hukum keduanya? Penasaran?
Menurut Syekh Ibnu Utsaimin, apabila perusahaan didirikan untuk tujuan yang halal dan bergerak di bidang yang halal pula, namun modalnya berasal dari pinjaman ribawi maka ada 3 hukumnya.
Apabila pemilik perusahaan sudah tahu dosa riba dan tetap nekat mengambil pinjaman ribawi untuk modalnya maka mereka sendiri yang mempertanggungjawabkan dosanya. Dia telah melakukan 2 kesalahan.
Pertama, ketika meminjam dia menyepakati klausul riba (bunga).
Kedua, ketika mengembalikan, dia memberi makan riba.
Bagian yang menegosiasi urusan pinjaman riba, menjadi penandatangan akad riba, mengambil uang pinjaman riba dan menjadi saksi saat akad riba dilangsungkan.
Bagian yang tidak mengurusi pencatatan, kesaksian ataupun bantuan lain berkaitan dengan pinjaman ribawi karena pekerjaannya terpisah dari riba.
Saya tidak mendetilkan nama bagiannya karena di setiap perusahaan dijalankan oleh Divisi yang berbeda-beda. Diatas adalah kaidahnya dan insyaa Allah cukup untuk membedakan mana bagian pekerjaan yang halal atau haram.
Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju perang beliau masih digadaikan kepada orang Yahudi sebagai jaminan utang tiga puluh sha’ gandum untuk nafkah keluarganya.” (HR. Bukhari 2916, Nasai 4668, dan yang lainnya).
Hadits ini memberi penjelasan yang relevan untuk kasus ini.
Bahwasanya Nabi pernah bertransaksi dengan kaum Yahudi padahal mereka terkenal suka memakan riba dan mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil. Pada saat tindakan ini dilakukan sebetulnya ada 2 hubungan yang berdiri sendiri yang memiliki konsekuensi berbeda. Yahudi tetap berdosa atas perbuatan ribanya sementara Nabi tidak berdosa karena tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan riba Yahudi sebelumnya tersebut. Nabi memperoleh utang dengan cara yang halal.
Seorang pengusaha yang terlanjur mengambil pinjaman ribawi untuk modal usahanya, maka uang dari Bank riba tetap sah dimiliki. Karena itu dia berhak memanfaatkannya dan hasil usaha yang didapatkan juga halal. Apabila dia kembangkan usahanya dan memperoleh hasil berlipat ganda, maka boleh dia nikmati karena dalam kondisi belum sadar dosa riba.
Setelah menyadari kesalahannya, sudah seharusnya dia bertaubat dengan cara berhenti dari membayar bunga dan denda atas pinjaman ribawi tersebut. Dan jangan pernah mengambil pinjaman ribawi baru untuk melunasi utang ribawi sebelumnya karena itu menambah dosanya sebagai penyetor riba yang baru.
Artikel
Pihak yang terkena dosa riba bukan hanya penyetor atau orang yang melakukan transaksi saja, tetapi juga saksi dan pencatatnya. Astaghfirullah. Jangan sampai kita masuk ke dalam lubang dosa seperti itu...
Yudha Adhyaksa
15 Feb 2024
Meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, nyatanya praktik riba masih terjadi dimana-mana. Bahkan pemerintah seakan tutup mata dan justru mendukung berbagai transaksi riba. Lalu bagaimana sik...
Yudha Adhyaksa
13 Feb 2024
Apakah bank akan tutup jika semua pegawainya resign? Saya rasa tidak. Bank memiliki manfaat sentral terkait transaksi keuangan. Bank tidak mungkin gulung tikar hanya karena pegawai resign. Lihat sa...
Yudha Adhyaksa
12 Feb 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan