Artikel
Yudha Adhyaksa
04 Nov 2024
"Begini ya, saya kasih tahu. Kita tuh tidak mungkin bebas dari riba sama sekali. Lha wong sistem ekonomi negara saja masih riba. Utangnya banyak dan bunganya besar. Mungkin kamu bisa keluar dari Bank riba, tapi diluar sana ketemu juga sistem yang masih riba. Jadi percuma, nggak mungkin bisa menghindar juga.”
“Mending jalani yang wajib saja sudah cukup, seperti sholat 5 waktu. Terus kerjain dulu ibadah yang sunnah, kan masih banyak yang belum. Nanti kalau ekonomi Negara sudah berubah ngga riba lagi, baru kamu resign”
Itu adalah kisah nyata. Pernyataan yang tegas itu meluncur dari orang tua.
Anaknya terkesiap. Tidak nyangka menerima masukan seperti ini dari orang tua. Dalam hatinya ia tidak setuju, ‘Kenapa harus dihubung-hubungkan hijrah anak sebagai individu dengan utang pemerintah?’
Sang anak pun memberitahukan secara santun kalau persoalan riba pemerintah menjadi tanggung jawab mereka. Untuk hijrah tidak perlu menunggu semua sistem bebas riba dulu. Dimanapun negaranya, mau negara Islam atau non Islam tetap tidak boleh bertransaksi riba. Aturan Allah mencakup seluruh alam semesta, mau pindah ke planet lain pun tetap kena hehehe..
Kalau ada orang punya kemampuan mempengaruhi pemerintah, silahkan lakukan. Tapi ketahuilah satu hal, mengubah kebijakan pemerintah itu sangat berat. Meski pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengakui Bank Konvensional mengandung riba tapi tidak ada tindakan nyata untuk mengubahnya. Apalagi aktivitas perbankan ribawi dilindungi UU Perbankan dan mengubahnya perkara berat. Butuh perjuangan yang lama sekali karena tantangannya luar biasa besar.
Yang jadi masalah adalah bagaimana kalau ditengah perjuangan keburu ‘dipanggil’? Tidak mungkin alasan belum taubat karena ekonomi negara masih riba karena Allah sudah duluan memerintahkan hambaNya untuk menjauhi riba.
Di titik ini, kita harus egois. Pikirkan bagaimana cara menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu karena kita dihisab juga dalam keadaan sendiri-sendiri. Kalau kita tidak sanggup mengubah sistem, ya ubah diri sendiri dulu. Hijrahlah secara bertahap.
Mulai dengan memastikan pekerjaan yang kita lakukan halal. Jika masih ada syubhat (tidak jelas halal dan haramnya), lebih baik tinggalkan. Jalani pekerjaan yang sudah pasti halal saja.
Lalu, bebaskan diri dari jeratan transaksi riba, apapun bentuknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itulah pentingnya mengenali seluk beluk transaksi ribawi di sekitar kita agar tidak terjerumus.
Setelah memungkinkan secara fisik, materi dan pikiran, barulah berdakwah ke masyarakat. Dan inipun sebatas kemampuan kita untuk mengikuti anjuran Nabi:
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Kesempatan bagi kita meraup pahala sebesar-besarnya untuk meraih amal jariyah. Orang yang sudah hijrah dari pekerjaan riba memang orang suci, bukan Ustadz. Tapi mereka pernah hidup di dunia riba dan mengalami akibat buruk darinya. Pengalaman ini bisa dibagi untuk diambil hikmah bagi orang lain.
Apabila hidup anti riba menjadi budaya di masyarakat, maka lambat laun kebiasaan bertransaksi riba akan terkikis dan berkurang drastis. Harapannya orang pemerintahan akan melihat perubahan ini dan mau mensyariahkan sistem perekonomiannya.
Semoga Allah memberikan hidayah pada jajaran pejabat pemerintah.
Artikel
Tulisan ini dipersembahkan untuk Anda yang: Seorang pegawai dan galau karena perusahaannya diketahui mengambil pinjaman riba Seorang pengusaha yang kebingungan dengan status perusahaannya kare...
Yudha Adhyaksa
04 Nov 2024
"Begini ya, saya kasih tahu. Kita tuh tidak mungkin bebas dari riba sama sekali. Lha wong sistem ekonomi negara saja masih riba. Utangnya banyak dan bunganya besar. Mungkin kamu bisa keluar dari...
Yudha Adhyaksa
04 Nov 2024
Suatu sore yang indah di Jakarta. Kota yang pada waktu itu sedang membangun MRT. Bisa dibayangkan riuhnya suasana saat itu. Dengan jalan yang menyempit, semakin meningkatkan adrenalin para pe...
Yudha Adhyaksa
04 Nov 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan