Artikel
Yudha Adhyaksa
01 Dec 2024
Kami tidak mengharamkan Bank sebagai Institusi Negara. Yang kami haramkan adalah produknya yang melanggar larangan syariat yaitu riba. Ini perlu dipertegas agar setiap elemen masyarakat paham perbedaannya.
Kami disini adalah penggiat anti riba, termasuk Saya. Dan Saya akan menjelaskan secara runtut dan obyektif alasannya kenapa yang diharamkan adalah produknya bukan Bank nya.
Mari kita mulai penilaian dari tujuan awal sebuah Bank didirikan, caranya berbisnis hingga hasil jadinya yaitu produknya. Dengan kerangka berpikir urut, kita akan mengetahui persis dimana letak ribanya.
Inilah definisi Bank menurut UU Perbankan No. 10 Tahun 1998.
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.” (UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 2).
Dari sisi syariah, tidak ada yang salah. Sebagai lembaga, Bank memberikan manfaat yang halal. Boleh diterima dan dirasakan masyarakat karena tidak ada tujuan yang merugikan, berbahaya atau menzalimi. Tidak ada tujuan riba secara hukum asal.
Namun ini belum cukup menyatakan Bank itu syar’i. Harus melihat lagi dari caranya berbisnis apakah ada pelanggaran syariat atau tidak.
Secara umum, Bank memiliki 2 cara dalam berbisnis, yaitu:
Cara bisnis ini menguntungkan masyarakat karena Bank telah memiliki sistem, kebijakan manajemen, prosedur dan pegawai yang bisa dipercaya. Sehingga, menyimpan uang dalam jumlah besar disini jelas lebih aman daripada di tempat lain.
Jika cara kredit yang dilakukan sesuai syariat, ini dibolehkan asal tidak mengandung riba. Selanjutnya perlu pembuktian lebih lanjut apa benar pada prakteknya produk Kredit Bank tidak mengandung riba.
Secara garis besar, ada 2 produk umum Bank, yaitu:
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.” (UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 5).
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” (UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 11).
Pada prakteknya, Bank mengenakan bunga baik di semua produk Simpanan maupun produk Kreditnya. Besaran bunga dinyatakan dalam persentase (%) yang nilainya tetap (fixed) per tahun atau mengambang (floating) – nilainya berubah-ubah setiap tahun. Prosentase besaran bunga dinyatakan jelas dalam perjanjian produk.
Inilah yang menyebabkan produknya haram. Inilah persyaratan yang bathil karena bertentangan dengan hukum syariah. Tidak sah walaupun sudah disetujui Nasabah.
“Barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka syarat tersebut batil walaupun seratus syarat.” (HR. Bukhari)
Nah, dari semua penjelasan diatas menurut Saya ada beberapa poin kesimpulan:
Syariat hanya mengharamkan produk Bank yang riba. Untuk produk Bank halal (tidak mengandung riba), masyarakat boleh memanfaatkannya.
Artikel
7 Aturan Istishna yang perlu Anda ketahui agar tidak melanggar syariat adalah: 1. Developer membangun rumah sesuai pesanan pembeli dan menyerahkan sesuai kesepakatan 2. Pesanan rumah yang diteri...
Yudha Adhyaksa
29 Nov 2024
Siapa bilang tugas marketing hanya jualan? Tidak! Tugas marketing itu luas bung, orang yang mau jadi marketing haruslah menguasai 9 disiplin ilmu ini. Tidak perlu sampai menguasai ke 'tulang...
Yudha Adhyaksa
29 Nov 2024
Kiat melunasi utang ini dapat dijalankan oleh semua orang. Namun seberapa cepatnya atau setinggi apa kemungkinan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya usaha dan komitmennya untuk melunasi ut...
Yudha Adhyaksa
28 Nov 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan