Artikel
Yudha Adhyaksa
07 Feb 2024
Seperti yang kita ketahui bersama, semua posisi di bank mendapatkan gaji dari bunga. Otomatis gajinya bercampur riba yang dilarang oleh Allah SWT. Hukum bekerja di bank sudah pasti haram. Tapi bagaimana dengan anak seorang pegawai bank? Apakah ikut berdosa? Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel di bawah ini, ya!
“Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta.” (Al-Mughni, 8/171)
Bisa jadi anak-anak ini masih kecil atau remaja, sehingga kondisinya belum mampu mandiri. Tidak ada sumber penghasilan lain. Jadi mau tidak mau, bergantung pada nafkah ayahnya. Dari hari ke hari, bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun.
Bagaimana mungkin anaknya menghindar? Tidak mungkin membeli makanan sendiri karena tidak bekerja. Menolak menerima pemberian makan dari ayahnya juga tidak bisa. Membayar sendiri kebutuhan sekolahnya juga belum mampu.
Padahal anak membutuhkan nafkah dari orang tuanya sejak dalam kandungan sampai setidaknya saat lulus kuliah atau jika sudah bekerja sendiri. Jika anak berdosa, maka sepanjang waktu itu dosanya melimpah.
Namun kembali ke hukum bekerja di bank menurut syariat. Kan yang bekerja di bank orang tuanya. Sang anak hanya menerima nafkah yang terkadang ia tak tahu sumbernya dari mana. Bukankah “ketidaktahuan” tidak akan menimbulkan dosa?
Lalu, apa yang harus dilakukan si anak?
Apakah kalau ayahnya pelaku riba maka anaknya turut menjadi pelaku riba juga?
Apakah anak harus keluar dari rumah yang dibeli ayahnya dengan cara riba?
Jawabannya adalah secara syariat ternyata boleh anak menerima pemberian dari ayahnya. Meskipun sang anak tahu jelas kalau penghasilannya haram karena ayahnya tidak punya sumber pemasukan lain. Dengan kata lain, gaji Bank adalah satu-satunya penghasilan ayahnya.
Lho kenapa bisa begitu?
Karena sesungguhnya dosa riba hanya ditanggung ayahnya sendiri. Ia yang bekerja di Bank dan anaknya tidak ada sangkut paut dengan pekerjaannya. Anaknya hanya kebetulan ditakdirkan lahir dari keluarga dimana sang ayah pegawai Bank. Anaknya tidak bisa memilih dari keluarga mana dia akan lahir, karena semua itu ketetapan Allah sehingga anak terpaksa menerimanya.
Dalilnya adalah firman Allah
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173)
Kerja di bank menurut Islam sudah pasti hukumnya. Haram. Namun sekarang bermunculan bank-bank berlabel syariah di Indonesia. Banyak yang bilang jika produk bank syariah halal. Padahal belum tentu.
Parameter untuk menyebut produk bank halal atau haram dipengaruhi oleh akad dan sistem operasionalnya. Jika sebuah bank syariah masih meminjamkan uang kepada nasabahnya dan mengambil bunga sebagai keuntungan, maka masih ada riba.
Namun jika bank syariah tidak memiliki produk utang riba, maka bisa disebut halal. Banyak kok solusi agar bank syariah tetap beroperasional dan mendapatkan keuntungan dengan cara halal. Salah satunya dengan produk pembiayaan.
Bank bisa menjalankan produk pembiayaan kendaraan, peralatan usaha untuk UMKM, hingga pembiayaan rumah. Bukan KPR riba ya, tetapi pembiayaan.
Dosa riba ditanggung pelakunya saja karena ia yang memilih pekerjaan haram tersebut. Sehingga harta yang tadinya haram bisa menjadi halal tergantung dari cara memperolehnya.
Jadi sebetulnya ada 2 hubungan yang berdiri sendiri :
Haram karena cara mendapatkannya
Halal karena ayah wajib memberikan nafkah
Dalilnya adalah praktek Nabi yang pernah menerima hadiah dari orang Yahudi. Beliau bahkan berjual beli dengan mereka. Padahal orang Yahudi terkenal karena suka bertransaksi riba dan sumber haram lainnya, lalu dibelikan barang dan diperdagangkan ke kaum muslimin.
Disini berlaku kaidah:
Sesuatu yang diharamkan karena cara memperolehnya yang haram, maka itu haram bagi orang yang melakukan cara tersebut saja, bukan pada orang yang mengambil darinya melalui jalan yang halal (mubah).
Bagi si anak, ia tidak berdosa karena mendapatkan harta dengan cara yang benar. Makanannya, segala kebutuhan hidupnya, berasal dari ayahnya yang memang sudah jadi tanggung jawabnya untuk memberi makan keluarganya. Termasuk pokok adalah hunian sehingga anak tidak perlu keluar dari rumah orangtua.
Walaupun sang bapak yang dihukumi sebagai pelaku riba, sang anak juga bisa saja terjatuh dalam hadits ini:
“Tidak ada daging yang tumbuh dari as-suht (semua harta haram termasuk riba), kecuali neraka lebih layak baginya.” (HR. Turmudzi 614 dan dishahihkan al-Albani)
*As-suht : semua harta haram, baik riba, suap, atau lainnya.
Apabila sang anak malah memanfaatkan gaji besar ayahnya untuk membeli barang mewah seperti HP, makan di restoran mewah, berlibur keluar negeri, membeli kendaraan mewah dan barang mewah lainnya. Padahal ia tahu barangnya dibeli dari gaji riba ayahnya yang haram, maka ini merupakan perbuatan yang salah.
Yang benar adalah ketika anak sudah besar, mampu mencari pekerjaan sendiri segeralah berlepas diri dari ayahnya. Jangan terima pemberian ayahnya lagi. Walaupun gaji pekerjaannya masih kecil, pemasukan usahanya belum stabil, anak harus tetap mandiri dan hidup dalam kesederhanaan tanpa bantuan ayahnya. Semoga dengan kondisi ini, ayahnya menjadi luluh hatinya dan bertaubat.
Jika orang tua yang masih bekerja di bank ingin punya harta 100% halal, ia bisa memulai bisnis sendiri. Berbisnis bisa dilakukan oleh semua orang, asal punya pondasi ilmu yang tepat. Tak masalah jika berusaha dari nol, kamu bisa belajar di Fiqeeh.
Fiqeeh merupakan Kampus Bisnis Syariah yang memiliki beragam kelas online. Kamu bisa belajar ilmu permodalan tanpa riba, produk halal, hingga strategi pemasaran yang baik dan nampol.
Setelah belajar kamu bisa jadi pengusaha muslim yang bisa dengan mudah mengembangkan bisnis syariah ala Rasulullah SAW. Di Fiqeeh kamu juga bisa konsultasi langsung dengan mentor online yang siap membantu selama 24 jam non stop.
Artikel
Bagi sebagian pengusaha, urusan lokasi usaha super penting agar konsumen tidak bisa menemukan produknya. Mereka bahkan rela membayar ratusan juta per tahun. Contoh : Pengusaha warung ha...
Yudha Adhyaksa
15 Nov 2024
Seorang pengusaha harus mampu membedakan mana akad bisnis yang halal dan mana yang haram supaya tidak menjerumuskannya ke dosa. Dan disinilah pentingnya mengenali rukun dan syarat jual beli yang syar&...
Yudha Adhyaksa
15 Nov 2024
Transaksi online zaman sekarang rentan terjadi penipuan. Marketplace hadir untuk menjamin keamanan bertransaksi. Marketplace bukanlah Penjual atau wakil Penjual. Ia adalah pemilik pasar yang memper...
Yudha Adhyaksa
12 Nov 2024
Daftar Sekarang
Dapatkan semua Kelas baru gratis
dengan berlangganan